Antara Ahok, Aku, dan Adikku

Jumat, 9 Oktober 2015 saya sekeluarga terbang ke Jakarta via Juanda, Surabaya sebab besoknya harus hadir di pernikahan adikku. Lebih kurang 1000 Km Surabaya – Jakarta hanya ditempuh  90 menit. Itu biasa!

share

Berangkat!

Sabtu, 10 Oktober 2015 sekira pukul 2 malam kami semua harus bangun. Persiapan berangkat ke tempat perhelatan di Jakarta Timur yang hanya 10 Km dari tempat menginap. Aqad nikah akan dilaksanaan sekira pukul 08.00 Wib. Alamak, apa pasal sepagi ini harus bangun. Padahal, cuma sepuluh kilometer? Menghindari macet Bro! Macak cih, aku tak percaya.

Habis sholat subuh langsung tancap gas. Tiga mobil yang tersedia, salah satunya akulah drivernya. Bismillah! Ha…benar, khan. Mana macet? Lancar saja kok. Tiba di TKP bahkan pintu gerbang area belum dibuka. Adikku tersenyum saja. Senyum karena sewotku atau karena bahagia yang sebentar lagi bersanding mesra di pelaminan. Hemm!

IMG_0506.JPG

Wakil Tim

Perhelatan usai pukul 14 wib, kami harus pulang ke tempat inap. Tiga mobil harus beriringan lagi. Bayanganku seperti tadi pagi. Salah pollllllll! Mulai keluar area komplek TNI tempat gedung itu berada masuk ke jalan utama mataku mulai terbelalak. Jubelan mobil berbagai merk memenuhi jalanan Jakarta. Mobil iringan merangkak pelan kayak bekicot. Waduhhhh, mulai nervous nih. Kaki mulai keder. Ac mobil tak bisa menghalangi keluarnya keringat dingin. Tenang, supirrrrr, bisikku sendiri. Nasib mobil pinjaman ini dan penumpangnya tanggung jawabmu! Aku coba ikuti mobil di depanku sebab aku iringan yang di tengah. Mata fokus ke depan, Eitt, gas…eit..rem..oper gigi. Aduhhhhh biyung, kaki mulai kesemutan pegel-pegel injak gas, rem, gas, rem!

IMG_1112.JPG

Hibur Diri

Alhasil, jarak 10 Km yang tadi pagi hanya ditempuh 30 menit, kini sampai rumah habis magrib bahkan hampir isyak. Alamak, berarti di jalanan tadi kurang lebih 5 jam. Busyett, deh..eh..astagfirullah! Ini baru RUARRR…BIASA! Itu artinya orang Jakarta harus rajin solat qodho’ atau qoshor sebab macet itu sudah rutinitas Jakarta. Aku berpikir kalau begini terus aku bisa stres dan mungkin mati duduk di kendaraan.

Pantas, Ahok sang gubernur  marah-marah. Itu baru persoalan macet. Belum banjir, prostitusi, gelandangan, sampah, deesbe! Stresss….berat, dah! Siapapun gubernurnya dari kalangan manapun kalau sistem dan masyarakatnya tidak baik maka sama saja. Jadi jangan salahkan gubernurnya semata. Semua harus introsepeksi.

Tentang bau primordialisme (perasaan kesukuan yang berlebihan) dalam pilihan pemimpin itu adalah biasa kita dengar. Mayoritas pemilih akan mengaitkan dengan agama, etnis, sikap akhlaq, bahkan dengan klan atau marga sang calon pemimpin tersebut.

Jujur saja saya bertanya, Anda juga demikian kan?

Ini adalah ikatan emosional yang kadang mengalahkan rasional. Sesungguhnya kalau kita berpikir dalam bingkai nasionalisme Indonesia, hal semacam itu tidak patut. Mestinya kita memilih pemimpin atas kompetensinya bukan atas like n dislike. Namun apa boleh buat, justru ruang otonomi daerah yang digulirkan sejak reformasi itu mengalami pembiasan makna. Lalu figur calon pemimpin akan dilihat apa sukunya? Apa agamanya? Apa marganya? dan apa-apa yang lain….

Tidak heran muncullah polemik seputar PILKADAL, PILGUB DAN PIL-PIL LAIN. Misal, sang calon harus beragama Kristen bagi pemilih mayoritas Kristen, Hindu yang mayoritas Hindu, dan Muslim yang mayoritas Muslim. Inilah sisi negatif otonomi daerah dan Pilihan Langsung. Padahal, masyarakat belumlah begitu siap mental.

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar Ya!