Biar Valentino Valentinan!

unduhanhatiAda pernyataan bahwa benar itu belum tentu baik. Sebaliknya baik belum tentu benar. Misal, seorang anak balita yang sedang suka-sukanya memegang sesuatu, maka biarkanlah dia beraktivitas. Dia benar sesuai kodratnya untuk menggunakan otot-otot jemarinya. Namun bila dia meremas-remas pisau dapur, tentulah ibu atau bapaknya atau yang melihatnya akan bereaksi protektif. Sebaliknya bila si ibu yang sedang masak sebagai bukti dan bakti kebaikan kepada keluarga, namun mengayun-ayunkan pisau sambil menimang-nimang balitanya tentulah tidak benar. Orang yang melihatnya juga miris meski ibu itu sedang berbuat baik untuk keluarga.

Demikianlah tentang valentine day yang menjadi pro kontra setiap Februari 14. Jiwanya bahwa valentine day itu upaya mewujudkan ekspresi kasih sayang kepada semua makhluk adalah kebaikan. Baik jika kita selalu menyangi ibu yang melahirkan kita. Sayang kepada bapak yang mensponsori kehadiran kita ke dunia. Sayang kepada kakak, adik yang satu pabrik dengan kita. Juga sayang kepada binatang, tumbuhan serta lingkungan sebagai sesama ciptaan tuhan. It’s ok and you are is good people, Browww!

Valentine day, terlepas dari siapa dan latar belakang sosial atau agama apapun sebagai pencetusnya bernilai kebaikan. Namun kemudian terjadi salah kaprah bahkan cenderung pembelokan dari nilai-nilai kasih sayang itu. Bila diekspresikan dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya ketimuran yang kita anut. Bila justru menimbulkan hal yang kontra normatif. Melawan arus sosial budaya atau agama. Maka kita bertanya, adakah adat dan budaya di Nusantara ini yang membolehkan pergaulan intim laki dan perempuan secara bebas bagaikan ayam? Adakah agama yang membolehkan penganutnya berperilaku sex bebas sebagaimana layaknya dunia binatang?

Inilah sebenarnya yang dikhawatirkan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai moral adat, budaya serta agama. Bukan aroma kasih sayangnya itu sendiri tetapi penyimpangan dari kesalahkaprahan itu. Seluruh tokoh masyarakat serta agama apapun tentu sepaham bahwa cinta dan kasih sayang itu adalah anugerah terindah yang diberikan tuhan. Namun demikian perwujudanya tidak boleh melanggar norma-norma moral sosial itu sendiri.

Maka benarlah reaksi Bapak Wayan Gatra, Kadisperindag Denpasar dalam menanggapi paket coklat+kondom yang dijual di mini market dan mall. Dia menyatakan, ” Secara prinsip ini sudah berkaitan dengan moral, karena secara langsung jika memang ada paket tersebut akan mengajak anak muda untuk berbuat yang tidak baik!” (radar Bali).

Demikian juga reaksi MUI, Majelis Ulama Indonesia yang langsung tancap gas melindungi umatnya dengan memfatwakan haram. Ibarat bapak yang sangat sigap untuk memproteksi anak balitanya yang sedang memegang granat. Granat lho, bukan mercon apalagi pisau dapur!

Tinggal kita tunggu kepedulian tokoh-tokoh agama lain dalam bahu-membahu menyelamatkan masyarakat Nusantara dari cengkraman nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai adat dan budaya ketimuran. 

Maka biarkanlah, si Valentino dan si  valentina valentinan sedangkan si Joko dan mbak Sri di pelaminan.

Tinggalkan Komentar Ya!