Posts tagged ‘islam kompromi’

6 August 2012

Islam Kompromi = Sandal Jepit

Hemm! Judul postingan ini  agak unik dan susah dinalar. Bukan sensasi yang dimaksud, namun fakta yang terjadi adalah demikian. Kronologinya sangat tidak terduga.

Hari Rabu, 1 Agustus pukul 13.00 saya chek in di hotel Puri Nusa Indah 3, Jalan Waribang Denpasar. Rencananya sampai dengan tanggal 4 Agustus mengikuti pelatihan jurnalistik. Ya, lumayan nginap gratis ala ABIDIN (atas biaya dinas) , maka dapatlah kamar 206. Wah, lupa beli  sandal jepit  nih. Keluar hotel sebentar – tengok kanan kiri di sepanjang jalan Waribang – aha ada warung penjual sandal jepit sebelah barat hotel. Ya, kurang lebih 100 meteran lah. Satu pasang Rp 10.000 , sip lah. Sandal jepit putih tali biru akhirnya tertenteng masuk ke hotel. Tunggu, Bro! Tadi saya lewat di depan musollah lho. Hemm, entar malam aku ikut tarawih ah. Ya, pikiran dan perasaan bahagia tumpah ruah bak menemukan oase di tengah gurun. Mengapa? Ya, sebab saat chek in tadi sempat bertanya : Adakah fasilitas musollah di hotel ini? Jawaban tidak mengiang. Padahal di lobi hotel tertera di dinding atas dengan jelas : ARAH QIBLAT. Rupanya tulisan doang tanpa musollahnya. Syukurlah ketemu tempat ibadah di luaran, mana dekat lagi. Tinggal jalan kaki nyampek deh.

Maka malam itupun saat isya’ menjelang, saya pakai sandal jepit putih tali biru yang baru dibeli siang tadi menemani melenggang kangkung ke parkiran. Saya starter sepeda motor ( sorry , gak jadi jalan kaki sebab penerangan jalan terbatas) menuju tempat ibadah itu. Di dalam musollah rupanya sang ustat sudah memberikan kultum. Pikir saya , ah ini sudah telat isya’nya. Untung tarawihnya belum. Cepat ambil wudu lalu kuparkirkan sandal jepit di pojok timur teras musollah. Tidak sembunyi memang. Sebab yang tarawih masih bisa dihitung dengan jari. Maklum bukan masjid jamik, tapi sekadar Musollah di tengah komplek hunian para pejuang perang yakni tentara Republik Indonesia. Ternyata area itu adalah komplek gudang tentara.

Dengan tegak saya lakukan solat sunat dulu sambil menunggu dimulainya tarawih. Entar isya’nya disusulkan habis itu . pikir saya. Benar saja habis salam , sang bilal terdengar memperingatkan jamaah ala model tarawihan di kampung  . Ya, model tradisional. Wah, gawat ni bisa berjibun rakaatnya ni. Biasanya kalau ada solawatan pada komandonya bisa 23 rakaat tuh.  Sepuluh salam tarawih lalu 2 salam witirnya. Wah, bukannya apa-apa tapi saya keburu meeting khan? Kalau begitu sebentar saya akan makmum masbuk saja ah, rayuan hati terus bergelayut. Ambil sebelas rakaat saja. Entar witirnya mecah sendiri. Itu pikiran pendek saya.

He…he…untungnya pikiran masbuk itu tidak jadi saya lakukan. Pasalnya, ternyata eh ternyata tarawih di Mushollah itu mengikuti pola modern ( bukan paham modern lho). Kontan kejadian ini menimbulkan tanya di benak. Habis tarawih akan saya tanyakan kepada Ustad yang menjadi imam. Benar saja , ketika jamaah yang lain bubar, saya asyik mengerjakan solat Isya’ yang tertinggal tadi. Sementara sang Ustad  duduk ngobrol dengan beberapa takmirnya. Nah, kesempatan baik. Habis isya’ saya datangi majelis obrolan itu. Babibubebo , saya tanyakan. He…he… di sini di Musollah ini memang demikian Pak. Tarawih cukup 11 rakaat meskipun caranya model salawatan.  Wah, ini rupanya Islam Kompromi ya Tat? Sang Ustad (Lukman Hakim namanya)  dan majelis obrolan tadi semyum simpul. Baguslah, kata saya. Di Bali yang Islammya minoritas ini tidak ada gunanya berdebat tentang rakaat tarawih dan qunut. Yang penting bersatu padu menegakkan ibadah dan karakter keislaman yang rukun tanpa terpecah-pecah.

“Maaf Tat dan semua . Saya pamit duluan, mau balik ke hotel!”, selaku. Saling jabat tangan lalu berniat ambil sandal jepit.

” Ya, Allah! “, betapa kagetnya dan tidak disangka. Sandal jepit putih baru telah raib dari tempatnya.Padahal jamaah yang tinggal hanya saya , Sang Ustad, takmir dan satu orang yang sedang tadarrus. Mengapa sandal saya yang hilang, ya? Ah, misteri dari Allah.

Dengan langkah malu pak Takmir mempersilakan saya pakai sandal jepit usang warna ungu , milik musollah untuk saya pakai ke hotel. Mana kebesaran lagi.

Ah, takdir saya terima saja. Barangkali ini hikmahnya : Sang sandal jepit ungu yang sudah usang  milik musollah pengin nginap di hotel sebagai balasan berbulan-bulan ubudiah di musollah itu. Ya, akhirnya kesampaian juga sandal jepit usang menghuni hotel beberapa malam dan entah beberapa malam lagi sebab saya tinggalkan saja di kamar hotel itu. Sedangkan saya sudah chek out. Sementara sandal jepit baru warna putih bertali bitu  itu entah di mana?